Masa Depan Perkebunan Kopi Di Jambi
Masa Depan Perkebunan Kopi di Jambi - Pecinta kopi semua ... Jangan merasa penulis perjalanan drama di jambi jungle akan selesai dalam hitungan hari. Hampir setahun penulis membentang di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi untuk bergulat dan bernegosiasi dengan penjarah daerah hutan, Suku Anak Dalam, dan dinamika sosial dalam pembuatan daerah industri.
Bayangan bahagia, dukacita, tawa, kesedihan, kemarahan, atau ketakutan berada di hutan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dalam kehidupan penulis. Di balik petualangan para penulis di hutan utara Batanghari, hasilnya penulis menemukan makna kehidupan yang ketika ini ingin dibagikan dengan para pencinta pecinta kopi.
Apakah pecinta kopi pernah merasa hidup di hutan yang penuh dengan semak-semak, tempat tinggal binatang eksotis (hariamau, gajah liar, atau burung enggang), atau di mana insan tinggal? "Penulis percaya tidak banyak pecinta kopi yang mencicipi petualangan ini".
Bukankah pecinta kopi sama sekali peduli dengan hutan di jagat indonesia? "Penulis lagi percaya bahwa kekhawatiran perihal ekosistem hutan hanya ada dalam sains atau biologi". Apakah para pecinta menyampaikan bahwa jumlah harimau sumatera hanya 400 di alam liar? "yup .. penulis mengerti harimau bukan naga trendi yang sudah masuk jejaring sosial". Asumsi penulis, kita mungkin tidak lagi peduli dengan sifat kita. Mungkin kita terlalu sibuk memikirkan urusan individualis dalam kehidupan ini. Namun, mari kita luangkan waktu .. kita menghabiskan sedikit waktu kita untuk memikirkan kembali esensi kehidupan yang tercemar oleh konsesi pikiran kita perihal kehidupan.
Hutan memang tempat yang jauh dari tempat kita tinggal. Namun, kalau pecinta kopi menyadari bahwa setiap ketika kita melihat, kita telah memakai hasil hutan. Contohnya: meja kayu, alat tulis pensil, atau pakaian batik yang disukai oleh semua pecinta kopi (pewarna batik berasal dari buah jernang yang masih sanggup didapat dari daerah hutan). Pecinta kopi tahu bagaimana memanen komoditas hutan di negara kita?
Buruk? iya .. saya yakin rasa pecinta kopi simpati semua terinspirasi. Namun, penulis juga percaya bahwa pecinta kopi tidak akan melaksanakan apapun lantaran pecinta kopi masih belum tahu cara menabungnya :) Apa yang terjadi di lingkup kehutanan kita yaitu penghancuran daerah hutan dalam skala besar dengan memanfaatkan hutan demi kepentingan segelintir atau sekelompok orang. Kehancuran ini meliputi; sistem yang diwakili oleh negara; eksploitasi hutan berlisensi yang diwakili oleh perusahaan hutan alam, hutan tumbuhan industri, dan perusahaan pertambangan; dan yang terakhir yaitu kaum kiri yang diwakili oleh serikat petani yang menempati daerah hutan lantaran perutnya yang lapar. baiklah .. mari kita bahas satu persatu.
Ekonomi Ekosistem Vs
Kondisi kehutanan Indonesia kini menjadi duduk kasus serius dan merupakan tanggung jawab semua pihak untuk sanggup memperbaikinya. Indonesia telah kehilangan 2,6 juta hektar hutan yang dieksploitasi secara destruktif setiap tahun dan telah menghasilkan konflik ibarat konflik sosial di tingkat masyarakat (vertikal dan horizontal), degradasi lingkungan (ekologi), konflik lahan dan pengelolaan regional.
Pengelolaan mata pencaharian masyarakat dalam bentuk modal / hutan berbasis modal telah membawa kondisi hutan Indonesia ke arah kehancuran. Sementara de yure harus bertanggung jawab atas kondisi hutan di Indonesia, diakui oleh semua pihak bahwa negara tersebut telah gagal mengelola sektor kehutanan dengan lebih baik dan memperkaya masyarakatnya, terutama masyarakat hutan / lokal / pribumi.
Pengelolaan mata pencaharian masyarakat dalam bentuk modal / hutan berbasis modal telah membawa kondisi hutan Indonesia ke arah kehancuran. Sementara de yure harus bertanggung jawab atas kondisi hutan di Indonesia, diakui oleh semua pihak bahwa negara tersebut telah gagal mengelola sektor kehutanan dengan lebih baik dan memperkaya masyarakatnya, terutama masyarakat hutan / lokal / pribumi.
Obsesi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional yang cepat, bagaimanapun, hanya sanggup dipenuhi oleh sektor minyak dan gas dan kehutanan. Dari kedua sektor tersebut, kegiatan ekstraksi dilakukan dengan hati-hati, sehingga dalam satu periode sanggup menawarkan bantuan pendapatan nasional terbesar. Tapi ini mengakibatkan duduk kasus baru. Tidak sanggup dipungkiri bahwa pendekatan pengelolaan hutan semacam itu kemudian akan menghasilkan rezim perizinan, baik berupa HPH, HTI, perkebunan, pertolongan dan lain-lain.
Kini tidak kurang dari 20 juta hektar hutan nasional berada di tangan konsesi kehutanan, dan sekitar 7 juta hektar lahan perkebunan. Jika ditambah dengan penggunaan pertolongan pertambangan, maka jumlahnya menjadi lebih besar. Kita tidak sanggup hanya memperlihatkan bahwa penghancuran hutan dan duduk kasus kehutanan nasional kacau lantaran konsesi "nakal", ibarat yang sering ditiru media. Tapi dari pengalaman masa kemudian kita harus tahu bahwa rezim perizinan dalam pengelolaan hutan cenderung rentan, tidak hanya sering membuat daerah abu-abu, tapi juga melahirkan ekonomi biaya tinggi yang disebut (melunakkan kata "korupsi").
Masukkan ke dalam catatan perusahaan HTI tempat penulis bekerja sepanjang tahun, tidak termasuk pungutan resmi (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat) yang rata-rata 37-46% dari total biaya per meter kubik, rezim perizinan hutan nasional masih mempertimbangkan biaya dari transaksi tidak resmi rata-rata 12-13% per meter kubik. Makara kalau dihitung, sebelum biaya resmi per meter kubik sudah mencapai minimal 54-63%, yang mencakup biaya produksi 41-51% dan biaya transaksi 12-13%.
Kini tidak kurang dari 20 juta hektar hutan nasional berada di tangan konsesi kehutanan, dan sekitar 7 juta hektar lahan perkebunan. Jika ditambah dengan penggunaan pertolongan pertambangan, maka jumlahnya menjadi lebih besar. Kita tidak sanggup hanya memperlihatkan bahwa penghancuran hutan dan duduk kasus kehutanan nasional kacau lantaran konsesi "nakal", ibarat yang sering ditiru media. Tapi dari pengalaman masa kemudian kita harus tahu bahwa rezim perizinan dalam pengelolaan hutan cenderung rentan, tidak hanya sering membuat daerah abu-abu, tapi juga melahirkan ekonomi biaya tinggi yang disebut (melunakkan kata "korupsi").
Masukkan ke dalam catatan perusahaan HTI tempat penulis bekerja sepanjang tahun, tidak termasuk pungutan resmi (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat) yang rata-rata 37-46% dari total biaya per meter kubik, rezim perizinan hutan nasional masih mempertimbangkan biaya dari transaksi tidak resmi rata-rata 12-13% per meter kubik. Makara kalau dihitung, sebelum biaya resmi per meter kubik sudah mencapai minimal 54-63%, yang mencakup biaya produksi 41-51% dan biaya transaksi 12-13%.
Situasi ibarat ini secara eksklusif atau tidak eksklusif berkontribusi besar terhadap duduk kasus kehutanan nasional yang semakin akut dari waktu ke waktu. Pada ketika reformasi, situasinya tidak banyak berubah, terutama ketika prosedur politik juga tertangkap dalam vortex demokrasi biaya tinggi, rezim perizinan kehutanan - ibarat mendapat atmosfir baru. Akibatnya, deforestasi sulit dihindari. Misalnya, pada bulan Januari 2005, menurut data dari Kementerian Kehutanan, kondisi hutan yang rusak di Indonesia mencapai 59,7 juta hektar, dan lahan kritis mencapai 42,1 juta hektar. Sedangkan di hutan produksi sekitar 21,1 juta hektare tidak ada pengelola lagi lantaran sudah melarat dan meninggalkan daerah yang rusak.
Belum lagi, penegak aturan sektor kehutanan masih dinilai sangat kurang. KPK hanya sibuk menangani masalah dengan nilai koin korupsi. Sementara itu, korupsi gender di sektor kehutanan yang disebabkan oleh rezim perizinan telah menelan biaya ratusan triliun rupiah. Bayangkan saja, berapa biaya pengganti penebangan yang tidak dibayar oleh pengusaha HPH atau HTI sampai 2013 ini? Jika atas nama pertumbuhan ekonomi dan penguatan politik yang demokratis, kurun kegelapan kehutanan dalam bentuk rezim perizinan diulang, atas nama reboisasi semua proyek bernilai triliunan rupiah - terus digelar.
CIFOR (2007) mencatat proyek rehabilitasi lahan dan hutan Indonesia yang berlangsung semenjak tahun 1960 setidaknya mencapai 96,3 juta hektar (54,6 juta hektar di daerah berhutan dan 41,7 juta hektar di luar wilayah). Dengan tingkat keberhasilan yang berbeda, dari 19% -93%, setidaknya memperlihatkan bahwa proyek penanaman belum ditangani secara efektif dalam masalah deforestasi dan degradasi lahan. Apalagi kalau dikaitkan dengan tingkat rehabilitasi dan penggundulan hutan yang tidak seimbang, maka proyek penanaman menjadi karikatur yang terkesan.
Misalnya, pada tahun 2000 sasaran rehabilitasi hanya 18,7 juta hektar, kira-kira tidak lebih dari 1/5 dari total luas lahan yang terdegradasi. Berangkat dari fakta sanggup dipahami kalau kemudian hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa 85% dari total anggaran proyek rehabilitasi yang telah berlangsung lebih dari 4 dekade cenderung tidak dimanfaatkan secara efektif. Akibatnya, walaupun standar / hektar proyek rehabilitasi pemerintah umumnya lebih tinggi daripada standar pembiayaan perkebunan swasta (HTI misalnya), tingkat keberhasilan juga rendah. Hutan yang terdegradasi tidak sanggup dipulihkan, meski didukung oleh model gerakan ibarat GNRHL, atau pembibitan ibarat KBR. Dengan kata lain, sanggup diungkapkan bahwa produktivitas hutan nasional tidak sanggup ditingkatkan meski didukung oleh anggaran yang substansial.
CIFOR (2007) mencatat proyek rehabilitasi lahan dan hutan Indonesia yang berlangsung semenjak tahun 1960 setidaknya mencapai 96,3 juta hektar (54,6 juta hektar di daerah berhutan dan 41,7 juta hektar di luar wilayah). Dengan tingkat keberhasilan yang berbeda, dari 19% -93%, setidaknya memperlihatkan bahwa proyek penanaman belum ditangani secara efektif dalam masalah deforestasi dan degradasi lahan. Apalagi kalau dikaitkan dengan tingkat rehabilitasi dan penggundulan hutan yang tidak seimbang, maka proyek penanaman menjadi karikatur yang terkesan.
Misalnya, pada tahun 2000 sasaran rehabilitasi hanya 18,7 juta hektar, kira-kira tidak lebih dari 1/5 dari total luas lahan yang terdegradasi. Berangkat dari fakta sanggup dipahami kalau kemudian hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa 85% dari total anggaran proyek rehabilitasi yang telah berlangsung lebih dari 4 dekade cenderung tidak dimanfaatkan secara efektif. Akibatnya, walaupun standar / hektar proyek rehabilitasi pemerintah umumnya lebih tinggi daripada standar pembiayaan perkebunan swasta (HTI misalnya), tingkat keberhasilan juga rendah. Hutan yang terdegradasi tidak sanggup dipulihkan, meski didukung oleh model gerakan ibarat GNRHL, atau pembibitan ibarat KBR. Dengan kata lain, sanggup diungkapkan bahwa produktivitas hutan nasional tidak sanggup ditingkatkan meski didukung oleh anggaran yang substansial.
Tekanan kehutanan nasional tidak hanya berhenti di situ saja. Izin permesinan yang tidak sanggup mengkonsolidasikan daerah tersebut, dan suka membuat daerah bayangan, bukan untuk menyampaikan daerah abu-abu; dan mendorong terciptanya hutan yang terdegradasi, pada hasilnya dengan sengaja mereproduksi konflik dan kemiskinan masyarakat yang telah bergantung pada sumber daya hutan untuk menyediakan kehidupan.
Sejak tahun 1970an, kesadaran kehutanan untuk memasukkan watak sosial dalam pengelolaan hutan telah dimulai, dengan impian bahwa isu deforestasi, degradasi, dan dehumanisasi yang dipicu oleh kemiskinan dan keterbelakangan sanggup dilakukan dan diselesaikan. Karena bagaimanapun, industrialisasi kehutanan yang cepat semenjak dekade 60an, hasilnya menemukan hal-hal baru. "Semakin banyak uang yang terlibat dalam bisnis kehutanan, semakin banyak laba yang dicapai, namun juga semakin tinggi laju deforestasi, dan semakin luasnya hal itu sanggup terjadi."
Sejak tahun 1970an, kesadaran kehutanan untuk memasukkan watak sosial dalam pengelolaan hutan telah dimulai, dengan impian bahwa isu deforestasi, degradasi, dan dehumanisasi yang dipicu oleh kemiskinan dan keterbelakangan sanggup dilakukan dan diselesaikan. Karena bagaimanapun, industrialisasi kehutanan yang cepat semenjak dekade 60an, hasilnya menemukan hal-hal baru. "Semakin banyak uang yang terlibat dalam bisnis kehutanan, semakin banyak laba yang dicapai, namun juga semakin tinggi laju deforestasi, dan semakin luasnya hal itu sanggup terjadi."
Mafia Tanah Atas Nama Kemiskinan
Dari banyak sekali bukti ditemukan adanya cecunguk tanah dalam kegiatan perambahan daerah hutan. Mafia tanah ini berisi pelaku intelektual mulai dari politisi, pengusaha, dan pejabat birokrasi yang hampir sanggup ditemukan dalam banyak sekali masalah konflik perambahan dan pengrurakan daerah hutan. Peran cecunguk tanah dalam perambahan dan perusakan daerah hutan dimulai dari kegiatan keuangan, bentuk kebijakan yang tidak tepat, mobilisasi massa, provokasi, perlombaan domba, dan korupsi jemaat di wilayah pengelolaan hutan di Sumatera. Dimana hadiah dari perambahan dan penghancuran daerah hutan merupakan sumber kekuatan hutan "dan" tumbuhan industri "dan banyak sekali sumber daya pertambangan" kerikil bara "dan" emas ".
Contoh gampang yang ada di depan kita yaitu masalah Mesuji. Meski pemerintah sentra telah membentuk tim terpadu konflik konflik Mesuji yang dipimpin oleh Menkopolhukam. Namun, tetap terjalin selama satu tahun konflik Mesuji di jalan buntu. Kasus Mesuji tidak pernah dipikirkan dan gres saja menguap dari pandangan publik. Ini termasuk permainan cecunguk tanah yang membuat kondisi abu-abu sehingga sanggup mengendalikan lahan dan daerah hutan atas nama sekelompok orang. Masyarakat terbentuk - meski merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Namun dalam praktiknya, individu yang atas nama serikat pekerja atau serikat pekerja bahwasanya benar-benar membeli dan menjual atau saling menguntungkan untuk daerah yang seharusnya merupakan daerah hutan.
Selain Mesuji, masih banyak hal ibarat Reki dan LAJ di Jambi yang telah merenggut nyawa dan harta benda mereka. Tapi ibarat Mesuji, masalah ini ditutup dari mata lantaran pelaku media di Jakarta juga menjadi pemilik industri media informasi utama di Indonesia. Selain itu, permainan rakyat mulai dari pemerintah daerah, dinas kehutanan, dan politisi lokal sampai permainan pemerintah sentra sampai politisi senayan mewarnai perambahan dan penghancuran hutan-hutan di Sumatera.
Kegiatan cecunguk tanah ini tidak hanya bergerak di areal hutan produksi, namun yang paling mengkhawatirkan yaitu kegiatan cecunguk tanah yang telah merambah di daerah hutan lindung. Perusakan daerah hutan lindung di Sumatera bukan hanya hilangnya aset negara namun juga kerugian ekologis bagi bangsa Indonesia. Ada banyak fauna ibarat gajah sumatera, harimau sumatera, dan hutan yang ketika ini dalam bahaya kepunahan dan tumbuhan langka ibarat bunga bangkai dan jernang yang terbakar oleh perambah cecunguk tanah.
Inilah Waktu untuk Membuka Mata
Pecinta kopi masih akan bertanya, apa yang sanggup kita lakukan? Praktis .. lupakan saja kedamaian hijau yang dengan senang hati mencari dana di mal (mall notabennya yaitu pangkat pertama konsumen listrik yang sangat boros dan jauh dari konsep "hijau") atau lupakan juga institusi ibarat WWF yang gres saja senang memeras pengusaha pribadi. Inilah yang membuka mata kita tidak hanya harus melaksanakan penanaman pohon di depan rumah kita sendiri. Ini yaitu revolusi dalam anutan bahwa duduk kasus kehutanan ini tidak hanya akan memiskinkan anak cucu kita, tapi juga mematikan ruang hidup mereka di hari berikutnya. Pikirkan generasi penerus yang juga berhak hidup di negeri ini kita cintai ini !!! Jangan kita berhenti untuk melawan mereka !!!
Sumber Cerita Masa Depan Kebun Kopi di Jambi kopikitaperubahan.blogspot.co.id/2013/07/pernahkah-terpikir-mengenai-masa-depan.html
Jika anda ingin memberi masukan, silahkan kunjungi FANSPAGE kami, jangan lupa like dan share.